Rumit adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan hubungan antara investasi asing dengan pelindungan terhadap kekayaan intelektual. Terdapat kajian yang mengklaim bahwa pelindungan terhadap kekayaan intelektual dapat membantu pertumbuhan perekonomian global, khususnya untuk negara-negara berkembang. Namun di sisi lain, terdapat pula kajian yang menyimpulkan bahwa pelindungan kekayaan intelektual yang kuat dapat mengganggu pertumbuhan negara. Perdebatan tersebut berakar pada sifat alami dari pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang memberikan hak monopoli kepada pemiliknya, sementara salah satu aspek yang menjadikan investasi asing merupakan sesuatu hal yang menarik bagi negara-negara berkembang adalah kesempatan untuk mempelajari teknologi baru dengan cara yang menguntungkan dan dapat mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Sedangkan, rezim pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual cenderung memprioritaskan keuntungan pemilik suatu ciptaan, karya, atau invensi.
“Indonesia berada dalam Priority Watch List (PWL) yang dikeluarkan oleh United States Trade Representative (USTR).[1] Posisi tersebut menunjukkan bahwa citra Indonesia dalam hal pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual tidak cukup baik.”
Kascheeva dalam “The role of foreign direct investment in the relation between intellectual property rights and growth” memaparkan perdebatan antara akademisi tentang pengaruh pelindungan kekayaan intelektual dalam investasi asing terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa perlu ditinjau lebih lanjut tentang tingkatan investasi asing dalam suatu negara berkembang untuk dapat menentukan dampak pengaturan kekayaan intelektual terhadap kesejahteraan negara. Pelindungan kekayaan intelektual dianggap dapat mendorong investasi, namun terdapat faktor lain yang juga menarik investasi. Sehingga, apabila negara berkembang dapat menarik investasi asing tanpa harus memperketat pelindungan kekayaan intelektual, terdapat potensi untuk meningkatkan total produksi dalam perekonomian negara tersebut. Penemuan tersebut tidak menegasi pentingnya pelindungan kekayaan intelektual, melainkan menunjukkan bahwa kekayaan intelektual merupakan area yang harus diberi perhatian. Pemerintah harus melakukan peninjauan secara berkala untuk menilai dampak dari pelindungan kekayaan intelektual yang diatur dalam kerangka investasi asing terhadap perekonomian negara.
Dalam sejarahnya, pelindungan terhadap kekayaan intelektual dalam kegiatan investasi asing mulai pada pertengahan 1960 sampai 1970. Kebutuhan akan pelindungan tersebut adalah karena adanya transfer teknologi untuk mengembangkan perekonomian global, perusahaan multinasional yang menginginkan adanya pelindungan terhadap kekayaan intelektual ketika akan berbisnis di luar negeri, termasuk juga dalam agenda GATT/WTO dan UNCTAD. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat asal-usul dari kerangka hukum internasional yang dibuat oleh WTO dalam pelindungan kekayaan intelektual. Kebutuhan tersebut direspon oleh WTO hingga menghasilkan The Agreement on Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994.
Pengaturan tentang pelindungan kekayaan intelektual internasional dalam lingkup investasi, telah terbukti sebagai sesuatu yang diperlukan oleh pihak yang terlibat dalam kegiatan investasi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan adanya sengketa investasi yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Salah satu sengketa tersebut adalah Philip Morris vs. Uruguay yang diselesaikan melalui ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) pada tahun 2010. Philip Morris menyatakan bahwa pemerintah Uruguay telah melakukan pengambilalihan (expropriation) terhadap bisnis rokoknya, karena telah melarang Philip Moris untuk menggunakan kemasan asli rokoknya di pasar Uruguay dan karena itu dia mengalami kerugian.
Pada saat ini, sejauh pengetahuan penulis, belum ada sengketa antara Indonesia dengan investor asing yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Namun, tetap ada kemungkinan hal tersebut untuk terjadi mengingat banyaknya pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual di Indonesia. Indonesia berada dalam Priority Watch List (PWL) yang dikeluarkan oleh United States Trade Representative (USTR). Posisi tersebut menunjukkan bahwa citra Indonesia dalam hal pelindungan terhadap hak kekayaan intelektual tidak cukup baik.
Perdebatan tentang pengaruh pelindungan kekayaan intelektual dalam investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk negara berkembang, menjadikan pembahasan tentang pengaturan Indonesia tentang pelindungan kekayaan intelektual dalam perjanjian investasi atau Bilateral Investment Treaties (BIT) Indonesia dengan negara lain menjadi menarik untuk dibahas. Pengaturan tersebut dapat memberikan gambaran umum, perspektif Indonesia tentang pengaruh pelindungan terhadap kekayaan intelektual dalam investasi asing terhadap perekonomian negara. Lantas, Bagaimana pengaturan tentang Pelindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam kerangka perjanjian investasi bilateral Indonesia dengan negara lain?
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), memiliki platform yang menyajikan data berkaitan dengan perjanjian investasi internasional di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Platform tersebut berupa website yang dapat diakses dengan url https://investmentpolicy.unctad.org. Data yang disajikan pada platform tersebut menunjukkan judul, status, para pihak, tanggal penandatanganan, tanggal efektif, dan juga dokumen perjanjian itu sendiri. Dalam keseluruhan laman web UNCTAD, platform yang dimaksud adalah sub-bagian yang diberi nama International Investment Agreements Navigator.
Berdasarkan platform navigator UNCTAD, tercatat bahwa Indonesia memiliki 43 BIT. BIT yang berstatus in force atau sudah berlaku adalah sebanyak 29 BIT, sementara sisanya masih berstatus telah ditandatangani dan belum berlaku. Di dalam platform tersebut juga ditunjukkan BIT yang sudah diterminasi yakni sebanyak 31 BIT. Berkaitan dengan terminasi tersebut, tulisan dalam forum Indonesia for Global Justice pada tahun 2015 menuliskan bahwa assesment dan revisi terhadap perjanjian investasi internasional dilakukan untuk mengedepankan kepentingan nasional. Tulisan itu berdasarkan dialog dengan Direktur Perjanjian Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kementerian Luar Negeri, Abdulkadir Jailani yang menyatakan bahwa dengan adanya BIT, negara telah kehilangan kedaulatannnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Pemerintah Indonesia kesulitan untuk membuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menekankan pada perlindungan kepentingan nasional. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat upaya pemerintah untuk memastikan kepentingan negara tetap dikedepankan dalam bidang investasi asing. Melihat pemaparan tersebut, dihubungkan dengan narasi bahwa pelindungan kekayaan intelektual yang kuat dapat menghambat pertumbuhan, maka dapat diargumentasikan bahwa dampak pelindungan kekayaan intelektual dalam BIT juga menjadi salah satu hal yang dievaluasi.
BIT merepresentasikan gelombang terbaru dari perkembangan pelindungan terhadap kekayaan intelektual. BIT adalah persetujuan bilateral, yang biasanya disepakati sebuah negara maju dan negara berkembang, yang mengadakan komitmen pelindungan hak kekayaan intelektual berdasarkan kewajiban yang telah dimuat dalam TRIPs dan persetujuan lainnya. Namun, BIT yang bersifat bilateral, bukan berarti menggantikan TRIPs yang bersifat multilateral, melainkan kedua-duanya bekerja beriringan. Meskipun BIT telah ada sejak tahun 1959, perjanjian-perjanjian yang ditandatangani sejak tahun 1995 yang memiliki pengaruh paling besar dalam pelindungan kekayaan intelektual internasional. Perjanjian-perjanjian tersebut terus berkembang hingga tercipta pelindungan kekayaan intelektual yang melebihi standar minimal yang diatur dalam TRIPS. Oleh karena itu, BIT seringkali menambahkan ketentuan “TRIP-plus” untuk menambahkan komitmen tambahan dari apa yang disetujui dalam TRIPs. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan suatu negara terhadap pelindungan kekayaan intelektual dalam BIT dianggap kuat ketika memiliki kebijakan TRIP-plus.
Di dalam dokumen yang diterbitkan oleh UNCTAD yang berjudul “Intellectual Property Provisions in International Investment Arrangement” menjelaskan bahwa tingkat pelindungan kekayaan intelektual berdasarkan BIT akan dipengaruhi oleh bagaimana istilah “kekayaan intelektual” didefinisikan. Semakin sempit definisinya seperti halnya BIT Benin-Ghana, cakupan potensinya klaimnya menjadi semakin terbatas. Negara-negara yang tertarik untuk membatasi tanggung jawab atas klaim kekayaan intelektual berdasarkan BIT juga dapat melakukan upaya dengan membatasi bahwa kekayaan yang dilindungi hanya pada paten, hak cipta, dan merek dagang yang terdaftar pada otoritas kekayaan intelektual nasionalnya. Adapun, definisi kekayaan intelektual atau intellectual property dalam BIT antara Benin dan Ghana yang dikutip dalam tulisan tersebut, berbunyi:
“Investments’ means every kind of asset and in particular, though not exclusively, includes:
…
(iv) intellectual property rights, goodwill, technical processes and know-how and all similar rights recognized by the national law of both Contracting Parties..”
Berdasarkan penemuan tersebut, maka dukungan Indonesia terhadap pelindungan hak kekayaan intelektual salah satunya dapat dilihat dari rumusan kekayaan intelektual dalam definisi investasi.
Penulis telah melakukan tinjauan singkat terhadap 27 BIT Indonesia yang ada di dalam database platform UNCTAD, dan menemukan bahwa 27 BIT tersebut telah mendefinisikan kekayaan intelektual sebagai investasi yang menjadi ruang lingkup BITs tersebut. Namun demikian, penulis menemukan bahwa perumusan hal-hal yang termasuk ke dalam pelindungan kekayaan intelektual tersebut berbeda-beda. Terdapat tiga model rumusan cakupan kekayaan intelektual. Berikut adalah tiga model tersebut:
Model 1
“Investment... though not exclusively, includes:
…. intellectual property rights, technical processes, goodwill and know-how;”
Model 2
“Investment… though not exclusively, includes:
… intellectual property rights including copyright, commercial trademark, patents, industrial designs, know-how, trade secrets and trade names, and goodwill;
Model 3
“Investment... though not exclusively, includes:
Intellectual property rights including but not limited to patents, copyrights, trademarks, geographical indications, industrial designs, layout design of integrated circuits, trade secrets, and rights in plants varieties, as well as business names, technical processes, know-how and good will;”
Berdasarkan perbandingan tiga model tersebut, dapat dilihat bahwa perumusan cakupan kekayaan intelektual dalam BIT Indonesia ada yang bersifat luas dan sempit. Di antara 27 BIT yang ditinjau, penggunaan model pertama dan cenderung lebih banyak daripada model kedua dan ketiga. Hal ini, terdapat potensi klaim yang besar bagi investor dalam hal pelindungan atas hak kekayaan intelektual.
Temuan dalam tulisan ini adalah, Indonesia dalam BITnya dengan negara lain memang mengatur kekayaan intelektual sebagai investasi menunjukan dukungan Indonesia terhadap pentingnya pelindungan kekayaan intelektual. Merujuk kepada penelitian Kascheeva bahwa terdapat kubu yang mendukung bahwa pelindungan terhadap kekayaan intelektual dapat memberikan pengaruh yang baik kepada pertumbuhan negara, maka dapat maknai bahwa alasan Indonesia mengatur kekayaan intelektual dalam BITnya adalah untuk menarik investor untuk mau berinvestasi di Indonesia sehingga dapat menstimulasi pembangunan dengan lebih efisien.
Demikian, beberapa kesimpulan dapat ditarik dari kondisi pengaturan pelindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam Kerangka Perjanjian Investasi Bilateral Indonesia yakni:
Daftar Pustaka
Kashcheeva, Mila. “The role of foreign direct investment in the relation between intellectual property rights and growth”, Oxford Economic Papers Vol. 65, No. 3 (July, 2013): 701. https://www.jstor.org/stable/23463384
Leonard, Jessica., Amalia, Prita., Chandrawulan, An An. “Indonesian Perspective on The Investors-State Dispute Settlement Mechanism for Foreign Investment Dispute Settlement in The Field of Intellectual Property Rights”, Indonesia Law Review Vol. 10, No. 1 (April, 2020), 19. https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1021&context=ilrev
Anderson, Alan M.., Razavi, Bobak. “The Globalization of Intellectual Property Rights: TRIPs, BITs, and The Search for Uniform Protection”, Georgia Journal of International and Comparative Law Vol. 28, No. 2 (2010): 277. https://digitalcommons.law.uga.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1122&context=gjicl
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM R.I. “Upaya DJKI Keluarkan Indonesia dari Priority Watch List USTR”, https://dgip.go.id/artikel/detail-artikel/upaya-djki-keluarkan-indonesia-dari-priority-watch-list-ustr?kategori= , (diakses pada tanggal 3 Desember 2023).
Indonesia for Global Justice, “Indonesia Sudah Menghentikan 18 BITS”, https://igj.or.id/indonesia-sudah-menghentikan-18-bits/ (diakses pada 3 Desember 2023).
UNCTAD. “Intellectual Property Provisions in International Investment Arrangements”, https://unctad.org/system/files/official-document/webiteiia20071_en.pdf (diakses pada 3 Desember 2023)